PRENGKI WIRANANDA, Mahasiswa Magister PSDA Universitas Trunojoyo Madura.
PRENGKI WIRANANDA, Mahasiswa Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Universitas Trunojoyo Madura. Artikel ini sebagai materi tugas mata kuliah Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut.KONFLIK nelayan di Masalembu terjadi sejak lama. Salah satu pemicunya adalah maraknya penggunaan alat tangkap cantrang yang dinilai bisa merusak lingkungan serta mengurangi pendapatan.
Berkurangnya pendapatan nelayan lokal Masalembu dipicu oleh bebarapa faktor. Di antaranya, alat tangkap yang digunakan kalah canggih dengan alat tangkap cantrang. Nelayan lokal di sana masih cenderung menggunakan alat tangkap tradisional.
Jangkauan wilayah penangkapan ikan antara nelayan lokal dengan nelayan luar yang menggunakan alat tangkap cantrang sangat timpang.
Nelayan lokal hanya mampu menjangkau wilayah yang tidak terlalu jauh dari garis pantai. Sementara, nelayan yang menggunakan alat tangkap cantrang bisa menjangkau wilayah yang lebih luas.
Kemudian, pemicu konflik selanjutnya yakni faktor kerusakan ekosistem. Cantrang terbukti bisa merusak ekosistem laut karena alat tangkap tersebut bisa menyapu bagian dasar laut seperti terumbu karang dan ekosistem dasar laut.
Kerusakan ekosistem laut itu juga dapat memicu berkurangnya pendapatan nelayan lokal. Dengan demikian, nelayan di pulau yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Sumenep, Madura itu mengeluh terhadap penggunaan alat tangkap cantrang.
Secara regulasi, penggunaan alat tangkap cantrang dilarang dioperasikan di perairan Indonesia. Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.
Namun, regulasi tersebut belum berdampak positif terhadap aktivitas nelayan di Perairan Masalembu. Masih banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap terlarang tersebut.
Nelayan lokal meminta ketegasan dari pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) untuk menindak tegas nelayan yang masih menggunakan alat tangkap terlarang tersebut.
Sebab, jika dibiarkan terus menerus akan semakin banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap tersebut. Dampaknya bisa lebih meluas. Baik dampak secara biologis, ekologis, ekonomi, kelembaganaan maupun secara hukum.
PENUTUP
Dari peristiwa yang terjadi di Perairan Masalembu menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap cantrang masih cukup tinggi sehingga memicu terjadinya konflik horizontal antar nelayan. Sebab, mata pencaharian nelayan lokal semakin terbatas.
Kemudian, kerusakan ekosistem laut juga bisa semakin parah karena alat tangkap cantrang yang digunakan nelayan tersebut tidak ramah lingkungan. Oleh sebab itu, pemerintah harus hadir memberikan solusi terhadap peristiwa yang terjadi tersebut.
Salah satunya, supremasi hukum harus ditegakkan agar masyarakat setempat merasa mendapat perlindungan hukum dari pemerintah. Kemudian, sosialisasi terkait larangan penggunaan alat tangkap cantrang itu harus lebih dimassifkan.
Mengingat, masih ada nelayan yang mengaku tidak tahu bahwa alat tangkap cantrang itu dilarang digunakan di perairan Indonesia. Penyuluh perikanan harus lebih dimassifkan untuk turun menemui nelayan dalam rangka memberi pemahaman mengenai larangan tersebut.
Dari sisi ekonomi, pemerintah juga harus turun memberikan pelatihan dan pembinaan terhadap nelayan. Dengan demikian, ketika musim paceklik ekonomi nelayan lokal tetap bisa berjalan.
Demikian artikel singkat ini, kami sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Apri Arisandi selaku pengampu mata kuliah Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut ini karena telah memberikan kesempatan bagi kami untuk belajar dan mencari referensi berkaitan dengan konflik nelayan yang terjadi di perairan Indonesia secara umum.
Dengan adanya tugas mata kuliah ini, cakrawala pengetahuan kami lebih banyak karena bisa belajar melihat konflik yang terjadi dari berbagai sudut pandang dan berbagai aspek. (*)