EROPA || KLIKMADURA – Larangan warung Madura buka 24 jam tuai polemik. Berbagai elemen masyarakat mengomentari kebijakan tersebut.
Salah satunya, Choirul Anam selaku Ketua Umum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Eropa.
Choirul Anam sangat menyayangkan statemen terkait himbauan Kemenkop UKM agar warung Madura tidak buka 24 jam itu.
Menurut dia, seharusnya.pemerintah mengakomodir social cultural di masyarakat sebagai bagian kearifan lokal dalam membuat kebijakan.
“Bukan kemudian menghambat atau mematikan usaha kecil seperti warung Madura,” ujar Anam melalui keterangan tertulis.
Dalam teori kebijakan publik, pembuat kebijakan harusnya melihat apa yang menjadi budaya sebagai bagian dari input policy. Tujuannya, agar tidak berbenturan dengan budaya yang sudah berkembang.
“Warung Madura memang sejak dulu buka 24 jam dan perda sudah ada sejak 2018 kenapa baru dipermasalahkan sekarang” lanjut alumni PhD Charles University di Ceko itu.
Doktor public policy ini menjelaskan, dalam pembuatan kebijakan, perlu adanya mendengarkan public interest.
Bahkan, pemerintah harus memformulasikan public interest secara hati-hati dan memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat.
Jika masyarakat Madura memiliki budaya membuka warung 24 jam penuh, seharusnya pemerintah mengakomodir dalam kebijakan, bukan terus menutup atau menentangnya.
Sepanjang, memang tidak mengganggu kepentingan publik dan keamanan daerahnya.
Anam menyatakan, perlu adanya diskusi bersama sebelum pemerintah membuat statement yang justru dapat meresahkan masyarakat.
Jangan sampai, statemen itu justru kontra produktif atas suatu kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah.
Pemuda asal Bangkalan itu menyampaikan, tujuan paling utama kebijakan publik adalah kesejahteraan masyarakat.
Jika warung Madura buka 24 jam bisa mendorong peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, seharusnya perlu diakomodir bukan ditutup atau dihambat perkembangannya.
“Pemerintah harus bijak dalam membuat kebijakan. Asymmetric policy itu tentang penyesuaian kebijakan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat atau kalau di Indonesia dikenal sebagai kearifan lokal,” katanya.
“Bukan kemudian tendensius menyebutkan istilah yang justru terkesan rasialis dan menyinggung ke-Bhinneka Tunggal Ika-an” tutup peneliti berdarah Madura itu. (*/diend)