*Prengki Wirananda (catatan pena I)
————————
AGI tadi HP saya berdering. Rupanya WA dari seorang teman. Berisi link berita tentang mantan ketua dewan di ujung timur Negeri Konoha yang siap-siap angkat koper dari perumahan tempat dia tinggal.
Dalam narasi berita itu dijelaskan bahwa sang mantan ketua dewan terancam pulang kampung.
Dia diprediksi gagal terpilih kembali menjadi anggota dewan. Suaranya raib dicopet teman separtai.
Mantan ketua dewan ini frustasi. Tidak menyangka akan dibegal teman sendiri.
Dia lalu mengundang orang-orang terdekat untuk menumpahkan kekecewaan. Berharap suaranya kembali. Lalu duduk sebagai anggota dewan untuk periode kedua.
Upaya yang dilakukan seakan hanya tong kosong. Nyaring bunyinya, tiada isinya. Suaranya tidak berubah saat tahap rekapitulasi. Raib. Bergeser ke kantong rekan politiknya. Teman makan teman.
Bagi orang awam, mungkin sulit dicerna akal. Bagaimana bisa perolehan suara pemilihan bisa berpindah tangan. Bukankah penghitungan diawasi lintas sektoral.
Ada pengawas. Ada saksi. Ada penyelenggara. Pun ada aparat keamanan. Lalu di mana celah suara bisa hilang? Apalagi digarong rekan separtai.
Pertanyaan itu mengawang-awang. Sulit dijelaskan dengan akal sehat. Tapi ini urusan politik. Akal sehat selalu kalah dengan kemufakatan jahat.
Ternyata ini bukan pencurian biasa. Tapi, pencurian yang sistematis. Pelakunya tidak sendirian. Mereka bergerombol. Pakai jas, peci hingga celana serba hitam.
Mereka biasa disebut Komplotan Pencopet Ulung. Tidak mudah menjadi anggota komplotan ini.
Harus melalui seleksi ketat. Bahkan, butuh rekomendasi dari orang-orang kuat. Kuat kekuasaan juga kuat modal.
Cara kerjanya juga terstruktur. Tidak serabutan. Tegak lurus melakukan perintah dari atasan. Teknis kerjanya mudah. Cukup utak-atik perolehan suara.
Orang mati dan orang pindah domisili jadi ladang dagangan. Caranya, dimasukkan sebagai daftar pemilih, lalu dicoblos sendiri.
Bayarannya lumayan. Tiap suara yang dicopet dibanderol Rp 35 ribu. Di kalangan mereka biasa disebut @35. Hasil mencopet lalu dibagi-bagi sesuai amal dan perbuatan.
“Dalam politik bukan bicara salah atau benar. Tapi, bicara soal menang atau kalah,” kata Ketua Komplotan Pencopet Ulung itu.
Mencopet atau bahkan menggarong suara itu rupanya berlangsung sejak lama. Bahkan menjadi tradisi turun-temurun.
Sangat menguntungkan bagi pelaku. Tapi, bikin buntung para calon dewan. Lalu, berharap demokrasi yang berkualitas? Musykil.
Tapi biarlah, tradisi merampok suara calon dewan itu kan hanya terjadi di negeri Konoha. Negeri fiksi. Bukan di Indonesia. Negeri yang kita cintai.
Mari sama-sama jaga harkat dan martabat demokrasi kita dari ambisi jahat para calon pejabat. (*)