Oleh: Aliful Muhlis (Ketua Umum Madura Millenial Institute)
PEMBABATAN hutan adat Papua demi perluasan kebun sawit adalah sebuah ironi yang mengiris hati sekaligus mengundang tawa getir.
Di balik janji manispembangunan dan kesejahteraan ekonomi, terselip kekejaman yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat dan ekosistem hutan yang kaya.
Bayangkan saja, bagaimana jika kita menukar buku harian penuh kenangan dengan buku rekening yang kosong? Begitu kira-kira rasa sakit yang dialami masyarakat adat.
Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana praktik ini tidak hanya merampas hak-hak adat, tetapi juga merusak warisan budaya dan lingkungan yang tak ternilai.
Merampas Hak-Hak Adat Hutan Adat
Papua bukan sekadar hamparan pohon dan lahan kosong yang menunggu untuk dieksploitasi. Bagi masyarakat adat, hutan adalah rumah, sumber penghidupan, dan bagian integral dari identitas budaya mereka.
Ketika hutan ini dibabat untuk kebun sawit, masyarakat adat kehilangan akses ke sumber daya alam yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Mereka dipaksa meninggalkan tanah leluhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Coba bayangkan, seperti membeli tiket konser band favorit dengan harapan bisa duduk di barisan depan, tapi akhirnya malah ditempatkan di belakang panggung, tak bisa melihat apa-apa.
Pemerintah dan perusahaan sering kali berdalih bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan sawit akan memberikan pekerjaan dan meningkatkan ekonomi lokal.
Namun, realitas di lapangan sering berbeda. Masyarakat adat kerap tidak mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan ekonomi ini.
Mereka justru menjadi buruh murah di tanah mereka sendiri, dengan upah yang tidak sebanding dengan kerugian yang mereka alami. Jadi, bukannya menjadi tuan rumah di rumah sendiri, mereka malah jadi tamu yang tidak diundang di pesta orang lain.
Menghancurkan Warisan Budaya
Hutan adat Papua adalah penjaga tradisi dan kearifan lokal yang telah terpelihara selama berabad-abad. Dalam setiap pohon, sungai, dan bukit tersembunyi cerita dan kepercayaan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri masyarakat adat.
Pembabatan hutan untuk kebun sawit tidak hanya menghancurkan ekosistem tetapi juga memutus rantai warisan budaya yang kaya ini. Ini seperti mengganti perpustakaan nasional dengan toko buku diskon, kita mungkin mendapatkan banyak buku murah, tapi kehilangan nilai sejarah dan pengetahuan yang tak ternilai.
Bayangkan sejenak, bagaimana rasanya kehilangan rumah yang bukan hanya tempat tinggal fisik, tetapi juga pusat spiritual dan budaya. Ritual, upacara adat, dan pengetahuan tradisional yang berkaitan erat dengan hutan secara perlahan akan hilang.
Apa yang tersisa bagi generasi mendatang jika warisan ini punah? Sebuah kekosongan identitas yang tak tergantikan. Sama halnya seperti mencoba merayakan hari raya tanpa makanan khas, kita mungkin masih bisa berkumpul, tapi rasa dan makna yang mendalam hilang begitu saja.
Merusak Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Papua dikenal dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Hutan- hutannya adalah rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia.
Pembabatan hutan untuk kebun sawit adalah ancaman besar bagi keanekaragaman hayati ini. Ekosistem yang telah terbentuk selama ribuan tahun dapat hancur dalam hitungan bulan.
Ini seperti mengganti seluruh menu restoran berbintang dengan menu makanan cepat saji, kenyang mungkin, tapi gizi dan kualitas? Jauh dari harapan.
Tanpa hutan, banyak spesies akan kehilangan habitatnya dan menghadapi kepunahan. Selain itu, pembukaan lahan secara besar-besaran akan menyebabkanerosi tanah, banjir, dan perubahan iklim lokal yang merugikan.
Dalam jangka panjang, kerusakan lingkungan ini akan berdampak buruk tidak hanya pada ekosistem lokal, tetapi juga pada kehidupan manusia di sekitar hutan tersebut. Seperti mencoba memelihara ikan mas dalam gelas kecil, usaha ini hanya akan berujung pada bencana.
Ironi Pembangunan dan Kerusakan Lingkungan
Pembabatan hutan adat untuk kebun sawit sering kali dibungkus dengan retorika pembangunan dan modernisasi. Namun, pembangunan yang sejati tidak boleh mengorbankan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Ironisnya, alih- alih membawa kesejahteraan, banyak dari proyek ini justru menimbulkan penderitaan dan kemiskinan yang lebih dalam bagi masyarakat adat. Ini seperti mengganti jembatan tua yang kokoh dengan jembatan baru dari kardus, tampakmodern, tapi rapuh dan mudah roboh.
Bagaimana kita bisa menyebut ini sebagai kemajuan ketika yang terjadi adalah kehancuran habitat, hilangnya warisan budaya, dan ketidakadilan sosial? Pembangunan yang berkelanjutan harus mengedepankan keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, dan hak asasi manusia. Sayangnya, dalam kasus pembabatan hutan adat Papua, keseimbangan ini sering kali diabaikan demikeuntungan jangka pendek.
Perlawanan dan Harapan
Di tengah ancaman pembabatan hutan adat Papua, suara perlawanan dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan semakin menggema. Mereka berjuang
tidak hanya untuk mempertahankan tanah dan budaya mereka, tetapi juga untuk masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Dunia harus mendengarkan dan mendukung perjuangan ini. Kita harus mendesak pemerintah dan perusahaan untuk menghormati hak-hak masyarakat adat dan mencari solusi pembangunan yang tidak merusaklingkungan.
Hutan adat Papua adalah aset berharga yang tidak bisa diukur denganuang. Kehilangannya adalah kehilangan yang tak tergantikan bagi seluruh umat manusia.
Marilah kita berdiri bersama dalam melindungi hutan dan warisan budaya Papua demi kebaikan bersama.
Dan mari kita pastikan, pembangunan tidak menjadi dalih bagi penghancuran yang tak termaafkan. Seperti kata pepatah, “Jangan sampai kita mengganti kasur empuk dengan tikar keras hanya karenaingin terlihat lebih modern,”
Salam Demokrasi!