Oleh: Moh Efendi, Peneliti ACCESS, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM.
————
“Tabung gas saya hilang, padahal sudah saya letakkan di dalam gerobak dan dalam posisi di gembok,” Ujar salah satu PKL, seperti dikutip dari salah satu media online, (12/03/2025).
SETELAH direlokasi oleh pemerintah ke tempat yang disediakan khusus. Kejadian kehilangan itu menambah deretan keresahan PKL—mulai dari sepinya pembeli, minimnya fasilitas, hingga rasa tidak aman. Bagi mereka, relokasi bukan sekadar soal berpindah tempat, melainkan soal keberlangsungan usaha dan keamanan penghidupan.
Pemerintah Kabupaten Pamekasan memiliki visi menata kota yang lebih bersih, rapi, dan nyaman bagi semua. Salah satu langkah strategisnya adalah memindahkan PKL dari pusat kota ke Food Colony, sebuah tempat khusus yang disiapkan pemerintah.
Kebijakan ini merujuk pada Perda Nomor 4 Tahun 2021 dan Perbup Nomor 101 Tahun 2022 tentang penataan dan pemberdayaan PKL.
Namun, implementasi kebijakan di lapangan tidak sesederhana merancang regulasi. Tantangan muncul, terutama dari sisi penerimaan masyarakat dan kesiapan infrastruktur.
Antara Tertib Kota dan Ekonomi Rakyat
Relokasi PKL adalah kebijakan umum dalam penataan kota. Tujuannya menjaga estetika, kebersihan, dan kenyamanan ruang publik. Tapi kenyataan sering berbicara lain: PKL kehilangan pelanggan karena lokasi baru tak seramai sebelumnya.
Di Pamekasan, banyak pedagang mengeluhkan minimnya fasilitas, desain yang kurang menarik, dan kurangnya promosi Food Colony. Alhasil, pengunjung enggan datang.
Sebagian masyarakat bahkan membandingkan dengan kabupaten tetangga yang masih membolehkan PKL berjualan di pusat kota. Meski terlihat “lebih ramah PKL”, dari sisi tata kota, kebijakan permisif seperti itu berpotensi menimbulkan masalah jangka panjang: kemacetan, penumpukan sampah, dan penurunan kualitas ruang publik.
Pentingnya Komunikasi Partisipatif
Salah satu titik lemah kebijakan ini adalah minimnya komunikasi partisipatif. PKL seharusnya dilibatkan sejak awal: mulai dari penyusunan kebijakan, perencanaan desain, hingga proses relokasi. Tanpa dialog, kebijakan mudah ditolak karena dianggap sepihak.
Sosialisasi bukan sekadar menyebar informasi, tapi membangun ruang diskusi dan mendengarkan keluhan. Pemerintah bisa memanfaatkan media lokal, komunitas, hingga influencer muda untuk membantu promosi Food Colony. Kampanye kreatif di media sosial, misalnya, dapat menciptakan buzz positif.
Komunikasi partisipatif juga membangun rasa memiliki. Jika PKL merasa dilibatkan, mereka akan lebih siap beradaptasi. Pemerintah tak cukup hanya membuat regulasi, tapi harus aktif merespons suara masyarakat.
Solusi Berkeadilan dan Berkelanjutan
Penataan kota tidak boleh dimaknai sebagai cara “menyingkirkan” PKL dari ruang publik. Relokasi harus dibarengi dengan insentif, pelatihan, dan pendampingan agar PKL mampu bertahan.
Pemerintah juga perlu memastikan pengelolaan Food Colony dilakukan secara profesional dan konsisten. Tempat ini harus bersih, aman, nyaman, dan dikelola oleh tim yang paham manajemen ruang publik.
Selain itu, evaluasi rutin sangat diperlukan. Jika tempat ini gagal menarik pengunjung, pemerintah harus berani melakukan perbaikan, bukan membiarkan PKL merugi. Bentuk dukungan bisa berupa subsidi sewa, promosi gratis, hingga pelatihan digital marketing.
Kolaborasi lintas sektor adalah kunci. Pemerintah, PKL, masyarakat, media, dan pelaku usaha harus bergerak bersama. Tujuannya menciptakan ruang publik yang tertata namun tetap ramah bagi pelaku usaha kecil.
Menuju Pamekasan yang Lebih Baik
Relokasi PKL adalah langkah besar dalam menata kota. Tapi keberhasilan tak hanya ditentukan oleh indahnya rencana, melainkan komitmen, komunikasi, dan kolaborasi. Kota tidak hanya dinilai dari keindahan ruangnya, tapi juga dari bagaimana ia memperlakukan warganya, terutama mereka yang menghidupi jalanan kota.
Jika Food Colony sukses, Pamekasan tak hanya punya ruang publik yang rapi, tapi juga pusat pertumbuhan ekonomi baru yang inklusif, bersih, dan hidup. Penataan kota bukan soal menggusur, tapi soal membangun ruang bersama yang adil dan berkelanjutan. (*)