Moh. Rifqi Rahman
(Dosen di Institut Al Azhar Menganti Gresik. Alumnus S3 Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya)
___________________________________
ENDIDIKAN diniyah takmiliyah memang merupakan pendidikan non formal. Sifatnya pun hanya sebagai pelengkap guna membekali peserta didik dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin, tafaqquh fi al-ddin, ukhuwah Islamiyah, tawadu’, tasamuh, tawazun, tawasuth, keteladanan dan cinta tanah air.
Meski demikian, lembaga pendidikan ini tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Setidaknya, data terakhir di EMIS Pendidikan Islam, sudah ada 102.382 lembaga pendidikan diniyah takmiliyah di Indonesia.
Di Jawa Timur saja jumlah lembaga diniyah takmiliyah sudah mencapai 31.772 lembaga dengan total peserta didik yang terdata mencapai 1.772.312.
Jumlah ini merupakan potensi, dalam artian pendidikan diniyah takmiliyah ini telah berpartisipasi secara aktif memastikan peserta didik Indonesia memiliki nilai-nilai sebagaimana disebutkan.
Oleh sebab itu, pendidikan diniyah takmiliyah ini memerlukan perhatian lebih, terutama dari sisi kebijakannya untuk mengupayakan optimalisasi arah implementasinya.
Kabar gembiranya, sejumlah pemerintah daerah sudah menaruh perhatian lebih melalui penetapan peraturan tentang pendidikan diniyah takmiliyah ini.
Beberapa daerah di pulau Jawa seperti Kabupaten Kudus, Pasuruan, Banyuwangi, Magetan, atau Sumenep telah memiliki peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup) untuk mengatur pelaksanaan pendidikan ini.
Demikian juga dengan beberapa daerah di pulau-pulau lainnya juga sudah memiliki landasan kebijakan berupa perda/perbup tadi.
Lahirnya perda/perbup ini merupakan efek lanjutan dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengamanatkan pengembangan wilayah secara demokratis dan otonom, sehingga pengembangan pendidikan diniyah takmiliyah yang juga termasuk di dalamnya mendapatkan angin segar untuk tumbuh dan berkembang dengan baik di bawah asuhan pemerintah daerah masing-masing.
Tapi kondisi ini tidak benar-benar menyuguhkan angin segar bagi pelaksanaan pendidikan diniyah takmiliyah. Kebijakan-kebijakan di masing-masing daerah itu hanya seperti fatamorgana yang menjanjikan air di tengah telaga, kenyataan sesungguhnya adalah gersang.
Setidaknya, pendidikan diniyah takmiliyah ini menghadapi masalah seperti masalah klasik dualisme pendidikan di Indonesia sehingga meski kebijakan daerah telah mengambil langkah dari segi legalitas, namun implementasinya masih belum optimal.
Selanjutnya, masalah peran serta masyarakat yang rendah dimana hal ini sejatinya sedikit anomali sebab pendidikan diniyah takmiliyah sendiri justru merupakan pendidikan berbasis masyarakat.
Beberapa masalah lainnya seperti minimnya komunikasi antar pemangku kebijakan sehingga masalah-masalah turunan muncul seperti manajemen yang buruk, tenaga pengajar, pendanaan, atau pengembangan kurikulum yang tidak optimal.
Di antara masalah-masalah yang disebutkan, anomali partisipasi masyarakat yang rendah terhadap pendidikan diniyah takmiliyah merupakan yang paling menarik.
Mengapa pendidikan diniyah takmiliyah yang secara historis lahir dari rahim masyarakat (berbasis masyarakat) justru tidak diminati oleh masyarakat itu sendiri? Ini fakta yang aneh.
Salah satu asumsi penyebab dari masalah ini adalah munculnya kebijakan integrasi yang termuat dalam beberapa perda/perbup yang diulas sebelumnya.
Dari sisi operasional, implementasi kebijakan integrasi ini mewajibkan pendidikan diniyah takmiliyah dilaksanakan secara integratif dalam satuan pendidikan formal.
Di satu sisi kebijakan ini bagus sebab legalitas pendidikan diniyah takmiliyah menjadi semakin kokoh, namun di sisi lain kebijakan ini justru mengesampingkan eksistensi lembaga diniyah takmiliyah yang memang sudah berdiri.
Konsekuensinya, para orang tua tentu lebih tertarik untuk mengikutkan putra-putrinya dalam program diniyah yang sudah terintegrasi dalam pendidikan formal dibandingkan dengan membawa putra-putri mereka ke lembaga diniyah takmiliyah.
Oleh sebab itu, kebijakan integrasi pendidikan diniyah takmiliyah dengan lembaga pendidikan formal ini perlu pemikiran ulang. Setidaknya, ada dua hal yang perlu ditinjau, yaitu Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2230 tahun 2022 dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 3633 tahun 2023.
Pertama, Keputusan Dirjen Pendis Nomor 2230 tahun 2022 memberikan rincian tentang bagaimana pendidikan diniyah takmiliyah dilaksanakan, yaitu melalui satuan pendidikan madrasah diniyah takmiliyah secara mandiri, pesantren, atau terintegrasi dengan lembaga pendidikan formal.
Opsi pelaksanaan yang terakhir (terintegrasi) ini yang memerlukan tinjauan. Jika di suatu daerah tertentu memiliki kebijakan integrasi dalam pelaksanaan pendidikan diniyah takmiliyah, eksistensi lembaga pendidikan diniyah takmiliyah yang berbasis masyarakat itu akan dibawa kemana? Bagaimana mengoptimalkannya?
Kedua, Keputusan Dirjen Pendis Nomor 3633 tahun 2023. Keputusan ini memberikan penjelasan tentang ruang lingkup pendidikan diniyah takmiliyah, yaitu sebagai satuan pendidikan dan sebagai program pendidikan.
Jika suatu daerah tertentu memiliki kebijakan integrasi sehingga daerah tersebut mengarah pada pelaksanaan pendidikan diniyah takmiliyah sebagai program pendidikan, lalu potensi eksistensi lembaga pendidikan diniyah takmiliyah yang memang sudah ada sebelumnya akan dibawa kemana?
Kebijakan integrasi, sekali lagi, bukanlah kebijakan yang kurang tepat. Hanya saja, kebijakan ini perlu mempertimbangankan dua hal di atas sehingga kebijakan integrasi menjadi jalan tengah untuk memaksimalkan pengembangan pendidikan diniyah takmiliyah dan mengoptimalkan eksistensi lembaga pendidikan diniyah takmiliyah.
Jika tidak, lembaga pendidikan diniyah takmiliyah hanya akan menjadi sebuah potensi yang terabaikan. (*)