Oleh: Malik Fahad
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura
ASAS praduga tidak bersalah atau yang lebih dikenal dengan Presumption of Innocence merupakan asas yang paling dasar di dalam hukum acara pidana di manapun.
Asas ini diakui sebagai salah satu elemen penting dalam sistem peradilan pidana di berbagai belahan dunia. Secara sederhana, asas praduga tidak bersalah dimaknai sebagai suatu keadaan yang mengharuskan seorang yang dituduh melakukan tindak pidana untuk dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang mengatakan sebaliknya. (Aristo pangaribuan : 2016).
Asas ini mengandung paradoks karena di satu sisi tugas wartawan menyampaikan informasi dalam berbagai outlet berita dengan cara mengumpulkan berbagai data yang akan di Sajikan dalam format laporan.
Para wartawan juga mempunyai aturan terkait cara memperoleh sampai dengan pemberitaannya, kita bisa liat dalam kode etik jurnalistik, di dalam kode etik tersebut secara umum memberi arahan kepada wartawan agar selalu memperhatikan nilai-nilai etika dalam menjalankan profesi kewartawanan.
Dalam menulis berita misalnya, wartawan dituntut harus menulis berita yang jujur, objektif dan didukung oleh fakta yang kuat.
Dengan demikian diharapkan jangan sampai wartawan menulis berita bohong atau fitnah yang bisa berakibat fatal bagi pihak yang diberitakan.
Sedangkan negara melalui aparatur penegak hukum diwajibkan untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, di sisi lain mempunyai kewajiban untuk tetap menganggapnya tidak bersalah.
Ada yang berpendapat, asas praduga tidak bersalah dalam bidang pers berarti, pers tidak boleh memberitakan identitas lengkap seseorang yang sedang dalam proses hukum, mulai tingkat penyidikan di kepolisian sampai tingkat pemeriksaan di pengadilan.
Alasannya hal itu sesuai dengan pengertian asas praduga di bidang hukum, yang berarti seseorang belum dapat dinyatakan bersalah selama belum ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pendukung pendapat ini meyakini Bahwa selama belum ada keputusan hakim yang berkuatan tetap, selama itu pula pers Harus merahasiakan identitas tersangka, tertuduh atau terdakwanya.
Meskipun asas praduga tak bersalah telah dicantumkan di dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) terdapat beberapa penafsiran sehingga menyebabkan beberapa variasi dalam pemberitaan, khususnya yang berkenaan dengan perkara pidana.
Menurut R.H Siregar, pemberitaan media massa yang berkenaan dengan asas praduga tak bersalah, kelompok pertama aadalah mereka yang mentaati asas tersebut khusus terhadap kasus yang dianggap biasa.
Mereka tidak menyebutkan Identitas tersangka secara lengkap, cukup hanya inisialnya saja. Mereka juga tidak memuat gambarnya akan tetapi terhadap kasus yang mendapat Perhatian masyarakat luas, identitas atau gambar tersangka dimuatnya secara lengkap.
Kelompok kedua yang memutuskan identitas serta gambar seorang tersangka atau terdakwa secara lengkap terdapat kriteria tertentu.
Terdapat pendapat di kalangan media massa yang merasa tidak perlu lagi melindungi identitas tersangka atau terdakwa, karena dianggap perbuatan yang dilakukan demikian kejam dan tercela melebihi batas-batas kemanusiaan.
Bagi mereka, perbuatan korupsi terhadap uang rakyat lebih kejam dari pada korupsi terhadap harta negara. Dengan demikian bagi koruptor uang rakyat tidak perlu lagi dilindungi identitasnya.
Ada pula, media massa dalam menyebutkan secara lengkap identitas tersangka atau terdakwa tanpa melihat kasusnya, tetapi melihat pelakunya.
Apabila pelakunya adalah seorang ‘public figur’ dianggap tidak perlu lagi menyebutkan identitas dengan inisial, tetapi akan ditulis secara lengkap.
Dengan argumentasi bahwa ‘public figur’ tersebut sudah menjadi milik masyarakat, sehingga menjadi hak bagi masyarakat untuk mengetahui seluruh sikap tindaknya termasuk apabila pelaku tersebut disangka melakukan tindak pidana.
Mengenai hal tersebut, pemberitaan pers mengenai suatu tindak pidana dan asas praduga tak bersalah, maka kita perlu melihat ketentuan-ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) dan Kode Etik Jurnalistik yang disusun Dewan Pers.
UU Pers mewajibkan pers untuk menghormati asas praduga tak bersalah dalam memberitakan peristiwa dan opini. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers yang berbunyi:
“Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.
Selain ketentuan UU Pers, wartawan juga wajib menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU Pers). Kode Etik Jurnalistik ini ditetapkan dan diawasi pelaksanaannya oleh Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf c UU Pers).
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu pemberitaan pers dapat dikatakan melanggar asas praduga tak bersalah jika isinya memang telah menghakimi seseorang atau beberapa orang telah terlibat atau bersalah melakukan tindak pidana padahal, belum terbukti melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain, maka mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat [2] UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3] UU Pers).
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Penjelasan selengkapnya simak artikel Mekanisme Penyelesaian atas Pemberitaan Pers yang Merugikan.
Menurut Kode Etik Jurnalistik, penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sedangkan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jadi asas praduga tidak bersalah sama sekali tidak mengurangi kemerdekaan pers untuk mengungkapkan kebenaran dan memberitakan ataumenyiarkan fakta secara akurat.
Adanya asas praduga tidak bersalah justru menjaga kemerdekaan bangsa, sebab dengan adanya asas praduga tidak bersalah dapat mencegah perlindungan masyarakat untuk menyerang kehormatan seseorang secara melawan hukum.
Dengan adanya asas praduga tidak bersalah juga sekaligus membuat pers sadar harus selalu menghormati proses hukum yang berlaku.
Tetapi yang paling penting, dengan adanya asas praduga tidak terbukti bahwa pers juga menghormati hak-hak asasi orang lain.
Pengakuan pers terhadap asas praduga tidak bersalah membuat pers tidak boleh melanggar hak-hak asasi lainnya.
Tanpa melanggar hak-hak asasi orang lain dan tanpa mengurangi hak orang untuk membela diri, pers tetap dapat memberikan fakta atau informasi yang dimilikiya.
Tegasnya asas praduga tidak bersalah tidak mengurangi kemerdekaan pers tetapi malah memperkuat kemerdekaan pers. (*)