Oleh: Moh. Syamsul Arifin, Demisioner Ketua Senat Mahasiswa (Sema) IAIN Madura.
ISTILAH “Republik Sulap” mencerminkan sebuah kenyataan yang ironis dan pahit mengenai keadaan di Indonesia. Aturan-aturan dan proses-proses yang seharusnya menjadi dasar penegakan hukum dan keadilan dapat dengan mudah diubah, diabaikan, atau bahkan disesuaikan untuk memenuhi kepentingan politik tertentu.
Istilah ini mengandung makna bahwa dalam kenyataannya, sistem yang ada tidak kokoh dan tidak berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip yang ideal.
Fenomena ini menjadi semakin jelas ketika kita melihat bagaimana para elite politik di negeri ini, yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, dapat dengan mudah memanipulasi sistem hukum dan demokrasi sesuai dengan keinginan mereka.
Contoh paling nyata dari situasi ini adalah kasus yang melibatkan Gibran dan Kaesang, dua sosok yang sangat dekat dengan kekuasaan politik di Indonesia.
Kedekatan mereka dengan kekuasaan memberikan mereka keistimewaan dan pengaruh yang sangat besar, yang pada akhirnya memungkinkan mereka untuk memanipulasi sistem hukum demi keuntungan pribadi atau kelompok mereka.
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan dan penegakan hukum di negara ini, tampaknya tidak luput dari pengaruh dan tekanan politik.
Dengan kata lain, melalui lembaga-lembaga tinggi negara ini, semuanya bisa disulap dengan mantra abrakadabra yang diucapkan oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan.
Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh yang menunjukkan bagaimana hukum dan aturan di Indonesia sering kali diabaikan atau disesuaikan dengan kepentingan elite politik.
Dalam banyak kasus lainnya, kita bisa melihat bagaimana proses penegakan hukum berjalan lambat atau bahkan macet ketika berhadapan dengan kekuatan politik yang besar.
Banyak kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi yang tidak pernah tersentuh hukum, atau jika pun tersentuh, proses hukum berjalan sangat lambat dan penuh dengan berbagai macam hambatan.
Fenomena ini tentu saja sangat merugikan bagi masyarakat dan negara secara keseluruhan. Ketika hukum tidak ditegakkan dengan adil dan transparan, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem yang ada.
Keadaan ini kemudian menciptakan siklus ketidakpercayaan yang terus berulang, di mana masyarakat semakin apatis terhadap proses politik dan hukum, sementara elite politik semakin bebas untuk melakukan apa yang mereka inginkan tanpa takut akan konsekuensi hukum.
Selain itu, “Republik Sulap” juga mencerminkan masalah yang lebih mendalam mengenai integritas dan moralitas para pemimpin politik di Indonesia.
Ketika pemimpin politik dengan mudahnya memanipulasi sistem hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok mereka, hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi.
Sebaliknya, mereka lebih mementingkan kekuasaan dan kepentingan jangka pendek yang sering kali bertentangan dengan kepentingan umum.
Pada akhirnya, “Republik Sulap” adalah sebuah cerminan dari keadaan yang memprihatinkan di Indonesia, di mana hukum dan keadilan sering kali diabaikan atau dimanipulasi oleh mereka yang memiliki kekuasaan.
Fenomena ini menciptakan sebuah paradoks ironis di mana institusi yang seharusnya melindungi keadilan dan kebenaran justru menjadi subjek dari ketidakpercayaan dan kritik yang luas.
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung hanya bisa dipandang sebagai arena pertunjukan kepentingan politik diutamakan daripada kepentingan hukum yang seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap keputusan yang diambil. (*)