Oleh: Malik Fahad
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo Madura
SEJUMLAH pasal dalam revisi Undang-Undang Penyiaran atau RUU Penyiaran yang disusun oleh Komisi I DPR RI dinilai akan memberangus kebebasan pers. Bahkan, merenggut hak konstitusional masyarakat untuk memperoleh informasi.
Proses perumusannya pun tidak melibatkan partisipasi masyarakat atau pihak yang berkepentingan sehingga berpotensi terjadi tumpang tindih aturan.
Beberapa pasal yang terdapat dalam rancangan undang-undang penyiaran tersebut berpotensi melanggar kebebasan pers dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Seharusnya, negara menjamin pers yang independen ini malah memaksa pers bungkam dan mematikan kreativitas para jurnalis.
Padahal, dalam UUD 1945 secara gamblang dijelaskan terkait kebesaran pers tersebut. Di antaranya, terdapat dalam pasal 28, pasal 28E ayat 2 dan pasal 28F.
Pada pasal 28E ayat 2 dapat dimaknai bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Sementara itu, Pasal 28F dapat dimaknai bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari kemerdekaan berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Pasal 28F menjadi landasan hukum utama kebebasan pers di Indonesia karena adanya kebebasan dalam menggunakan berbagai media dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.
Tetapi, nyatanya yang terdapat dalam RUU penyiaran malah semakin memperburuk demokrasi di negara kita, yang dimana dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi dasar utamanya.
Ada banyak pasal dalam RUU penyiaran yang menuai kontroversi. Pertama, terkait kewenangan KPI tangani sengketa jurnalistik.
Dalam Pasal 8A ayat (1) RUU Penyiaran menyebutkan KPI dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf (q) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
Klausul ini dinilai bertentangan dengan Pasal 15 Ayat (2) Huruf D UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menyatakan kewenangan menyelesaikan sengketa pers berada di Dewan Pers.
Salah satu tugas Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Kedua, terkait larangan jurnalisme investigasi. Pasal 50B Ayat (2) huruf c pada pokoknya menyatakan standar isi siaran melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigasi.
Pada Ayat (2) disebutkan, selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), standar isi siaran memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Ini merupakan pasal yang paling menggelitik di ditelinga dan rasanya ini akan berpotensi menghambat pencegahan korupsi, knp begitu? Karena dalam jurnalisme investigasi yang di tayangkan tidak hanya sekedar pemberitaan, namun lebih dari itu, karya tersebut juga bentuk pencegahan korupsi khususnya di sektor publik.
Hasil liputan yang dipublikasikan di media massa akan menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan korupsi.
Selain itu, para koruptor yang berniat melakukan kejahatan bisa jadi akan makin takut karena khawatir tindakannya terbongkar, lantas berpihak kemanakah ruu penyiaran ini? Untuk melindungi koruptor kah?
Dan juga dalam pasal larangan investigasi tersebut dinilai tumpang tindih dengan Pasal 4 huruf (q) UU Pers yang menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi.
Ketiga, terkait Larangan penayangan soal pencemaran nama baik. Pasal 50B Ayat (2) huruf k menyatakan SIS juga memuat larangan mengenai penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Penjelasan di atas merupakan sebagian dari pasal-pasal kontroversial dalam RUU penyiaran, yang menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers di Indonesia. (*)