PAMEKASAN || KLIKMADURA – Sidang kasus sengketa tanah yang melibatkan Nenek Bahriah dan keponakannya Sri Suhartatik masih berlangsung.
Beragam fakta persidangan mulai bermunculan. Di antaranya, nenek Bahriah yang dinilai tidak punya leter C dan akta hibah tanah yang disengketakan tersebut.
Informasi tersebut disampaikan Sulaisi Abdurrazaq selaku kuasa hukum Sri Suhartati. Menurut dia, selama persidangan berlangsung, banyak fakta-fakta yang akhirnya terungkap.
“Bahriah tidak punya Leter C 2208. Fakta itu dibuktikan di persidangan melalui dua orang saksi yang dihadirkan Bahriah,” katanya.
Dua saksi tersebut dihadirkan dalam perkara Perdata Nomor: 1/Pdt.G/2024/Pan.Pmk, yaitu Lurah Gladak Anyar yang sedang menjabat saat ini dan mantan Lurah yang menjabat tahun 2015, 2016 dan 2017.
Kemudian, dua saksi yang dihadirkan Bahriah juga membuktikan bahwa Bahriah tidak punya akta hibah dari Leter C 1371 atas nama Jatim alias Pak Butum ke 2208. Leter C 2208 juga tidak mencatat atas nama siapa.
“Tahun lahir Bahriah 1963 dan hibah diterima Bahriah tahun 1975. Artinya, Bahriah menerima hibah ketika usia 12 tahun. Masih di bawah umur. Fakta tersebut juga berdasarkan dokumen yang diajukan Bahriah,” terangnya.
Sulaisi juga mengungkap fakta lain yang terungkap dalam persidangan. Yakni, tidak ada bukti penanda setuju terhadap hibah dari Leter C 1371 ke 2208 dari seluruh ahli waris almarhumah.
Baik dari ahli waris almarhum Jatim atau Pak Butum maupun dari istrinya, Siye. Termasuk, tidak ada bukti persetujuan dari 15 anak-anak Siye dan Jatim alias Pak Butum terhadap hibah yang didalilkan Bahriah.
“Asal usul tanah yang menjadi objek sengketa adalah harta bersama Siye dan Jatim atau P. Butum yang kemudian menjadi harta waris,” katanya.
Menurut Sulaisi, seharusnya ditentukan dahulu siapa saja ahli waris dari Siye serta Jatim Pak Butum dan apa saja hartanya.
Sebab, jika 100 persen hibah diberikan kepada satu anak, sementara Siye dan Jatim Pak Butum punya 16 anak, maka hibah itu pasti mengganggu bagian waris dari anak-anak lainnya.
“Fakta persidangan seperti itu, yang terjadi sekarang malah terlalu banyak manuver melalui media maupun media sosial dengan mengeksploitasi Bahriah,” katanya
Ironisnya, yang disudutkan dari kasus tersebut justru Kapolres Pamekasan, Kasat Reskrim, Kanit Reskrim dan penyidik yang menangani perkara pidana dengan tersangka Bahriah.
Akibatnya, calon-calon tersangka lainnya berlindung di balik manuver dan isu kriminalisasi yang sengaja dimainkan oleh pihak-pihak yang potensial menjadi tersangka dalam kasus mafia tanah tersebut.
“Bahriah berusaha melakukan upaya praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap dirinya, namun dicabut.
Hal itu menandakan bahwa Bahriah khawatir jika semua fakta yang sesungguhnya terungkap dalam persidangan praperadilan,” katanya.
Atas pencabutan upaya praperadilan tersebut, penetapan tersangka terhadap Bahriah sah menurut hukum dan tidak ada kriminalisasi. Bahkan, tidak ada pula diskriminasi.
“Polri telah profesional dalam menangani perkara mafia tanah di Pamekasan,” tandas mantan aktivis HMI tersebut. (diend)