SUMENEP || KLIKMADURA – Kelakuan perempuan berinisial E asal Kecamatan Kalianget, Sumenep sungguh membuat hati miris. Betapa tidak, perempuan yang berprofesi sebagai guru itu diduga menjual anaknya pada pria berinisal J yang tak lain adalah selingkuhannya.
Ironisnya, J bukan orang sembarangan. Dia merupakan kepala sekolah di salah satu lembaga pendidikan negeri di Kecamatan Kalianget, Sumenep.
Kasihumas Polres Sumenep AKP Widiarti menceritakan awal mula terjadinya perbuatan amoral itu. Menurut dia, pada Februari 2024, korban meminta Vespa Matic kepada E, ibu kandungnya.
Kemudian, E menceritakan permintaan anaknya itu kepada J yang tak lain adalah selingkuhannya. Perempuan tersebut juga meminta J membelikan motor yang diminta korban.
Oknum kepsek kemudian berjanji akan membelikan vespa matic sesuai permintaan korban. Tapi, motor itu tidak gratis. Si oknum kepsek itu akan membelikan motor matic dengan syarat korban yang masih di bawah umur itu mau melakukan ritual hubungan badan.
“J juga berdalih bahwa ritual itu agar hubungan perselingkuhan dengan E tidak ketahuan orang,” kata AKP Widiarti.
Akhirnya, E setuju. Dia kemudian, membujuk anak kandungnya untuk berhubungan badan dengan J, dan setelah hubungan badan selesai akan dibelikan Vespa Matic sesuai permintaannya.
Selanjutnya, pada Kamis, 8 Februari 2024 sekira pukul 20.00 WIB, perempuan berinisial E itu mengancam anaknya. Jika tidak mau berhubungan badan dengan J, dia akan minggat dari rumah dan tinggal di rumah kos.
Sang anak tidak mengizinkan ibunya minggat dari rumah. Perempuan di bawah umur itu juga mengaku siap memenuhi permintaan ibunya berhubungan badan dengan J.
Kemudian, pada Jum’at, 9 Februari 2024 sekira pukul 10.30 WIB, perempuan berinisial E bersama anaknya menuju rumah J di Perum BSA, Desa Kolor, Sumenep.
“Sesampainya di lokasi, sang anak masuk ke rumah J untuk melakukan hubungan badan. Tetapi, J melapor kepada ibu korban bahwa alat vitalnya tidak tegang dan anaknya disuruh jemput. J kemudian memberikan uang kepada E senilai Rp 200 ribu, sedangkan si anak diberi uang Rp 100 ribu,” ungkap AKP Widiarti.
Selanjutnya, Kamis, 15 Februari 2024 sekitar pukul 20.30 WIB, E mengajak anaknya kembali untuk melakukan ritual dengan J. Keesokan harinya, Jum’at, 16 Februari 2024 sekitar pukul 10.30 WIB pelaku kembali mengantarkan anaknya ke rumah J untuk melakukan ritual hubungan badan.
Sesampainya di lokasi, korban masuk ke dalam rumah J sedangkan ibunya menunggu di luar rumah. Tidak lama kemudian J menelpon dan memberitahukan ibu korban agar menjemput anaknya.
“Setelah itu, tersangka J kembali memberikan uang senilai Rp 200 ribu kepada ibu korban dan si anak diberi Rp 100 Ribu,” ujarnya.
Kejadian selanjutnya, Juni 2024. Kala itu, J mengajak E dan anaknya ke salah satu Hotel di Surabaya. Tujuannya, untuk melakukan ritual kembali agar segera mendapatkan sepeda motor jenis vespa.
“Tersangka E bersama anaknya berangkat ke Surabaya menaiki bus. Sesampainya di Surabaya, mereka langsung menuju hotel yang sudah dipesan oleh J,” jelasnya.
Sekitar pukul 23.40 WIB, oknum kepsek itu masuk ke dalam kamar yang ditempati E dan anaknya. Kemudian, J langsung membuka bajunya sehingga E menyuruh anaknya juga membuka baju dan celananya.
“Setelah peristiwa itu, J memberikan uang kepada E sebanyak Rp 500 ribu dan anaknya diberi Rp 200 ribu,” katanya.
Setelah kejadian pertama di Surabaya itu, J mengajak kembali E agar membujuk anaknya melakukan ritual berhubungan badan kembali di hotel di Surabaya.
“Tersangka J kembali memberikan uang kepada E sebesar Rp 1 juta, sedangkan anaknya mendapat uang sebesar Rp 200 ribu,” terangnya.
Masih merasa tidak puas, pada Juli 2024, J kembali melakukan persetubuhan dan pencabulan kepada oknum guru dan anaknya.
“Setelah selesai berhubungan badan, E diberi uang Rp 1 Juta, sedangkan anaknya mendapat uang sebesar Rp. 200 ribu,” tukasnya.
Atas perbuatannya, pelaku E yang merupakan ibu kandung korban dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Perempuan yang berprofesi sebagai guru itu diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara. Sementara, si oknum kepsek dijerat Pasal 81 ayat (3), (2), (1) dan pasal 82 ayat (2), (1), UU RI Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan anak.
Ancaman hukumannya, maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Oknum kepsek itu juga terancam dipecat dari jabatannya dan statusnya sebagai ASN. (pen)